Respublica— Tak seorang pun yang mencintai perang, kecuali ia psikopat. Dalam perang, tak ada suka cita yang pantas ditebarkan atas wafatnya warga sipil, kecuali oleh hati yang sunyi dari welas asih. Pun, dalam perang, tak ada yang patut dirayakan selain runtuhnya senjata dan tumbangnya kekuasaan yang menindas.
Olehnya itu, keberhasilan perang tak bisa diukur dari berapa banyak warga sipil yang jadi korban. Jika ada yang mencibir Iran karena serangan rudalnya tak menewaskan banyak warga sipil, maka ia sedang sakit.
Sejatinya, perang dikatakan berhasil jika nyali penjajah mulai menyusut, dan tatanan penindas yang selama ini berdiri angkuh, pelan demi pelan mulai goyah.
Dalam hal ini, Iran telah menunjukkan sedikit keberhasilan: korban dari serangan rudal mereka terbilang minim. Namun pukulan yang diberikan kepada Israel cukup menjadi ganjaran yang setimpal untuk mengiris keangkuhan imperialnya.
Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan yang selalu mengiringi perang. Di sela-sela deru mesiu dan denting senjata, selalu ada jiwa-jiwa tak berdosa yang menanggung bahaya. Sekali lagi, itu adalah luka perang yang tak layak dirayakan, meski sering kali tak bisa dihindari.
Bahkan Iran, katakanlah, berusaha membatasi serangannya hanya pada infrastruktur strategis dan menghindari jatuhnya korban sipil. Namum pada akhirnya, rudal-rudal itu tetap menggurat luka di luar sasarannya—menelan korban yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun yang masih punya nurani.
Akhir-akhir ini, saya menyimak banyak komentar bernada moralis dan humanis yang mengecam jatuhnya korban jiwa dalam perang antara Iran dan Israel. Barangkali inilah yang dimaksud oleh Sun Tzu saat berkata, “Tidak ada contoh bangsa yang diuntungkan dari peperangan yang berkepanjangan.”
Namun, sayangnya, sejarah lebih sering ditulis dengan darah daripada dengan kedamaian. Dalam bentangan panjang peradaban, perang justru kerap menjadi panggung utama. Mungkin itulah yang dimaksud oleh G.W.F. Hegel, “Periode damai adalah halaman kosong dalam buku sejarah.”
Jika suara-suara moral mampu dengan mudah meluluhkan hati para penguasa dunia, barangkali perang tak perlu ada. Namun kenyataannya, kesadaran moralis kita yang mungil tak sanggup menampung kompleksitas dunia yang luas dan liar. Dunia, hanya teratur sebagai ide, namun chaos sebagai kenyataan.
Maka tak mengherankan jika di antara harapan, selalu tersembunyi kekecewaan. Dalam setiap kebaikan, ada jejak keburukan. Di balik kedamaian, senantiasa mengintai kerusuhan. Dunia terus bernapas melalui kontradiksi seperti itu. Sebab jika dunia telah sampai pada fase yang sepenuhnya tertib dan tentram, maka segalanya telah usai: tumpas, pungkas, meski belum tentu impas.
Lalu, di tengah kontradiksi itu, kita pun dihadapkan pada pertanyaan yang tak sederhana:
Semua orang mendambakan kedamaian. Tapi jika para penguasa dunia tak menginginkan itu, lalu apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang lemah seperti kita? Tetap tunduk dalam diam, atau merebut kedamaian itu dari tangan mereka, meski hati kecil kita ragu, sebab akan ada banyak korban jiwa?
Mungkin separuh benar, jika tidak ada contoh bangsa yang diuntungkan dari peperangan yang berkepanjangan. Namun sayangnya, sulit untuk menampik bahwa periode damai adalah halaman kosong dalam buku sejarah.
Comment