Makassar, Respublica — Calon Gubernur Sulawesi Selatan Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto secara resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pemilihan Gubernur Sulsel 2024.
Gugatan ini dilayangkan setelah timnya mengklaim menemukan indikasi adanya hampir satu juta surat suara tidak sah dalam proses pemilihan.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel telah menetapkan pasangan calon nomor urut 2, Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi, sebagai pemenang Pilgub Sulsel 2024. Pasangan ini meraih total 3.014.255 suara, unggul jauh dari pasangan Danny Pomanto-Azhar Arsyad, yang hanya memperoleh 1.629.000 suara.
Penetapan tersebut diumumkan oleh Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, melalui Surat Keputusan KPU Provinsi Sulsel Nomor 3319 Tahun 2024 dalam rapat pleno terbuka.
Menanggapi gugatan Danny Pomanto, Ketua Koordinator Daerah Relawan Club 08 Prabowo-Gibran (Korda RC-08 Pragib) Sulsel, Mastan, menilai bahwa dalil yang diajukan terkait pemalsuan tanda tangan dan nepotisme kurang tepat.
Menurutnya, dugaan terkait tanda tangan atau nepotisme seharusnya menjadi ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mastan merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), di mana pemeriksaan dugaan pemalsuan tanda tangan adalah delik pidana murni yang seharusnya ditangani oleh penyidik kepolisian, bukan MK.
“Terkait dugaan pemalsuan tanda tangan itu delik mutlak atau delik murni yang seharusnya punya kewenangan yang mengadili adalah penyidik kepolisian untuk memastikan apakah betul unsur delik pidana terpenuhi atau tidak,” ujar Mastan, Sabtu (14/12/2024).
Selain itu, meskipun MK dapat memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), Mastan menilai bahwa pembuktian dalil tersebut bukan hal yang mudah.
“Dalil permohonan juga harus ada korelasi yang kuat dengan bukti surat dan keterangan saksi, bukan semata-mata asumsi tanpa bukti yang sah dan terukur secara pasti,” tegas Mastan.
Mastan mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan mutlak dalam mengadili sengketa hasil pemilihan, tetapi setiap pengajuan harus memiliki dasar hukum yang relevan.
“Kalau aturan sudah ada dan jelas bukan kewenangan MK, tetapi tetap dipaksakan dengan argumentasi temuan atau terobosan hukum, itu bisa disebut melabrak hukum,” jelasnya.
Comment